Jangan
paksa Aku untuk membuat puisi, apalagi cerpen. Otakku sedang memanas. Rasanya
tertimbun bongkahan beton yang membara karena terselimut api yang menjalar dari
satu syaraf ke syaraf yang lain.
“Jangan
paksa Aku untuk berkata-kata! Kumohon hentikan eranganmu! Kumohon jangan ganggu
Aku kali ini saja! Karena mengurusi diriku saja, Aku sudah merasa kesusahan. Beberapa
kali melihatmu hari ini membuatku lemas dan semakin merasakan beban yang sangat
berada di punggungku.”
Ketika
kausapa Aku dengan kata-kata mesramu pun, rasa-rasanya telingaku ingin pecah,
perutku mual ingin muntah. Risih Aku melihatmu menangisi ketidakberdayaanku. Jijik
Aku melihat kata-kata iba yang terlontar begitu saja dari mulut mungilmu, mulut
yang selalu menyanjungku, tapi tak pernah memberiku penghidupan. Mulut yang
seksi dan sering mengucapkan kata-kata penuh buaian, tapi tak pernah sekalipun
menentramkan hatiku.