Huuuuuffftt,,,!!!
rasanya ingin tarik selimut saat mata ini mulai terbuka dan sesaat melihat cuaca yang sangat
mendukungku tuk mengatupkan mata kembali. Musim hujan datang, awan tebal hitam pun
terus saja beronggok di atas negeri Tamburi, sangat menggodaku tuk tarik
selimut kembali, didukung udara dingin yang menembus ventilasi-ventilasi
jendela.
“Tapi bukan ini
yang seharusnya aku lakukan! Aku, adalah salah satu agen dari sekian ribu agen
yang memiliki tanggung jawab besar dalam misi mencerdaskan bangsa”, bisikku
dalam hati.
Terlebih hari
ini merupakan jadwal mengajarku pada jam pertama kelas IX. Aku ingin mereka
tahu apa yang aku tahu, Aku ingin mereka menerima ilmu yang Aku dapatkan. Meski
waktu rasanya kurang jika hanya bertemu pada jam pelajaran, setidaknya ada secuil
ilmu bermanfaat yang Aku sampaikan dan tularkan pada mereka.
Dengan langkah
yang masih gontai karena efek bangun tidur, semangat kukumpulkan untuk memulai aktivitas hari
ini walau sedang musim hujan. Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah untuk
mengajar, kami berlima menyempatkan diri untuk sarapan. Selalu dan selalu
menggunakan nampan berwarna merah jambu itu
saat sarapan
hingga
makan malam. Itulah wujud kecil dari kebersamaan kami. Sampai-sampai pernah
suatu ketika Aku memiliki obsesi untuk membawa pulang nampan tersebut ke Jawa,
kutempeli dengan foto kami berlima yang sedang makan menggunakan nampan tersebut.
Hahaha, sungguh kenangan manis, kebersamaan lima perempuan yang ditempatkan di
daerah terpencil. Lima sarjana muda Tamburi...
“Sarapan”, itu
yang selalu Aku tekankan pada anak-anakku agar jangan lupa sarapan sebelum
berangkat ke sekolah. “Sarapan, kegiatan di pagi hari yang sebagian besar
masyarakat anggap enteng namun besar manfaatnya. Karena sarapan membantu
meningkatkan konsentrasi selama beraktivitas. Selain itu, sarapan juga mampu
meningkatkan memori dan konsentrasi.”
Oleh sebab itu, setiap hari selalu dan selalu Aku menekankan pada murid-murid agar
tidak lupa sarapan. Tapi memang pada dasarnya mereka yang masih anak-anak
beranjak remaja, masih menuruti kemauannya sendiri, sampai mulut ini berbusa
pun tetap saja ada yang tidak sarapan. Alhasil pernah suatu ketika ada salah
satu murid kelas VIII, Melki lemas karena tidak sarapan.
Seperti biasa,
ketika Aku keluar dari ruang kelas V SD yang kami gunakan sebagai mess,
anak-anak sedang membersihkan lingkungan sekolah, ada juga yang sedang bermain,
duduk-duduk. Ketika Aku berjalan menuju kantor, setiap siswa baik itu SD maupun
SMP menyapaku dengan salam yang begitu hangat.
“Selamat pagi, Ibu?” Sapa mereka.
Aku balas sapaan
mereka dengan senyum dan sapaan hangatku pula. Pukul 08.30 WITA, besi
bergantung yang telah berkarat pun dibunyikan sebanyak lima kali sebagai pertanda
apel pagi dimulai. Berhubung teman guru satu kelompok yang lain masih mempersiapkan
diri ke sekolah, Aku memimpin apel pagi ini. Seluruh siswa mendengarkan apa
yang Aku katakan. Entah apa yang kukatakan benar-benar didengarkan atau hanya
masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Sebab, ada yang terlihat
benar-benar memperhatikan, adapula yang sekadar berdiri istirahat di tempat namun
tatapannya kosong.
Seusai apel
pagi, anak-anak kembali ke kelas dan berdoa di kelas masing-masing sebelum
memulai pelajaran. Aku pun masuk ke kelas IX, satu per satu murid pun masih ada
yang terlambat, Aku maklumi hal tersebut karena ini musim hujan. Aku pun
memulai pelajaran. Namun, ada empat bangku yang masih kosong, sedari tadi
sepertinya belum ada tanda-tanda kehadiran mereka. Selama KBM berlangsung, Aku
masih memperhatikan keempat bangku yang masih terasing itu. Hingga pukul 08.30
WITA bangku-bangku itu masih kosong.
“Ada apa ini?
Tidak biasanya bangku-bangku itu hingga sekian lama kosong,” tanyaku dalam hati.
Rasa penasaran
pun tak dapat kupungkiri, segera Aku tanyakan kepada murid-muridku mengapa
hingga saat ini mereka belum datang juga. Mereka dengan semangat menjawab
lantang bahwa sungai sedang banjir.
“Kali ada
banjir, Ibu!!!” Ujar mereka.
“Maksud kalian
apa, Nak?” tanyaku.
“Iya Ibu, rumah
mereka seberang kali, jadi kalau banjir datang mereka tidak datang sekolah,
Ibu.”
Hhmmm, rupanya
itu yang menghalangi mereka tuk datang ke sekolah. Jadi, jika setiap musim
hujan datang dan sungai terjadi banjir, mereka tidak datang karena cara
alternatif menuju ke sekolah adalah dengan menyeberangi sungai. Jangan
dibayangkan bahwa mereka menyeberang sungai di atas jembatan. Sebab, pada kenyataannya
tidak ada jembatan yang mereka gunakan. Ya, mereka menyeberang sungai dengan
berjalan kaki. Sebelum menyeberangi
sungai, mereka berjalan kaki, bahkan ada yang berjalan kaki dengan jarak hingga 7 km. Sepatu,
celana atau pun rok harus mereka tanggalkan
sebelum menyeberang agar tidak basah.
Sesampainya di seberang,segala atribut sekolah mereka kenakan lagi. Jadi, mereka bersiap membawa
pakaian ganti untuk menyeberang.
Ada empat murid putri
di kelas IX ini yang rumahnya berada di seberang sungai. Beruntung bila sedang
tidak banjir atau musim kemarau datang, mereka tidak perlu melepas seragam yang
memungkinkan mereka kebasahan terkena air sungai. Sebab ketika air surut,
ketinggian air sungai hanya sebatas lutut atau paha. Namun bila banjir mulai
datang, mereka pun tidak bisa berbuat banyak. Alhasil mereka terpaksa tidak
datang ke sekolah daripada harus mengambil risiko. Jika selama 5 hari sungai
itu banjir, maka selama 5 hari itu juga mereka tidak datang ke sekolah. Sebenarnya ada jalan lain untuk sampai ke sekolah
tanpa harus menyeberangi sungai, tapi jarak tempuh yang sangat jauh memaksa mereka enggan untuk melalui jalan tersebut karena memutar.
Mereka lebih memilih menyeberang sungai daripada harus menambah jarak tempuh
yang kian jauh menuju sekolah. Aku hargai semangat, perjuangan, dan pengorbanan
mereka. Tidak hanya mereka, banyak lagi murid-muridku lainnya yang memiliki
semangat tidak kalah jauh.
Jika keempat muridku tadi terpaksa tidak bisa datang di sekolah karena sungai
banjir, muridku yang lain banyak yang sampai ke sekolah sekalipun dalam kondisi
hujan, sebab mereka tidak harus melewati sungai. Berjalan jauh sudah menjadi
hal yang biasa bagi mereka, hujan pun tak menyurutkan langkah dan semangat
mereka tuk sampai ke
sekolah. Segala keterbatasan tak menghalangi niat mereka datang ke sekolah. Ini
terbukti ketika hanya sebagian kecil siswa yang tidak hadir ke sekolah,
sedangkan keseluruhan guru di sekolah kami tidak hadir. Hanya kami berlimalah
yang hadir di sekolah.
Aku tidak ingin kalah
dengan semangat mereka. Aku yang tinggal di mess sekolah tanpa harus berjalan
jauh, kepanasan, dan kehujanan. Sungguh terlalu jika hanya karena cuaca seperti
ini semangatku menjadi luntur. Semangat mereka yang perlu ditiru, semoga
semangat ini juga menular kepada para pelajar di seluruh wilayah Indonesia.
Maju terus Indonesiaku! Tunjukkan pada dunia bahwa kita bisa, bisa menjadi
contoh bagi negeri lain, bisa menjadi lebih baik dan berkualitas dibanding yang
lainnya. Jangan patah semangat hanya karena kerikil yang menghadang di hadapan
kita.
Tamburi, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar