Rabu, 22 Mei 2013

08.30, BANGKU ITU MASIH KOSONG!


Huuuuuffftt,,,!!! rasanya ingin tarik selimut saat mata ini mulai terbuka dan sesaat melihat cuaca yang sangat mendukungku tuk mengatupkan mata kembali. Musim hujan datang, awan tebal hitam pun terus saja beronggok di atas negeri Tamburi, sangat menggodaku tuk tarik selimut kembali, didukung udara dingin yang menembus ventilasi-ventilasi jendela.
“Tapi bukan ini yang seharusnya aku lakukan! Aku, adalah salah satu agen dari sekian ribu agen yang memiliki tanggung jawab besar dalam misi mencerdaskan bangsa”, bisikku dalam hati.

Terlebih hari ini merupakan jadwal mengajarku pada jam pertama kelas IX. Aku ingin mereka tahu apa yang aku tahu, Aku ingin mereka menerima ilmu yang Aku dapatkan. Meski waktu rasanya kurang jika hanya bertemu pada jam pelajaran, setidaknya ada secuil ilmu bermanfaat yang Aku sampaikan dan tularkan pada mereka.
Dengan langkah yang masih gontai karena efek bangun tidur, semangat kukumpulkan untuk memulai aktivitas hari ini walau sedang musim hujan. Seperti biasa, sebelum berangkat ke sekolah untuk mengajar, kami berlima menyempatkan diri untuk sarapan. Selalu dan selalu menggunakan nampan berwarna merah jambu itu saat sarapan hingga makan malam. Itulah wujud kecil dari kebersamaan kami. Sampai-sampai pernah suatu ketika Aku memiliki obsesi untuk membawa pulang nampan tersebut ke Jawa, kutempeli dengan foto kami berlima yang sedang makan menggunakan nampan tersebut. Hahaha, sungguh kenangan manis, kebersamaan lima perempuan yang ditempatkan di daerah terpencil. Lima sarjana muda Tamburi...
“Sarapan”, itu yang selalu Aku tekankan pada anak-anakku agar jangan lupa sarapan sebelum berangkat ke sekolah. “Sarapan, kegiatan di pagi hari yang sebagian besar masyarakat anggap enteng namun besar manfaatnya. Karena sarapan membantu meningkatkan konsentrasi selama beraktivitas. Selain itu, sarapan juga mampu meningkatkan memori dan konsentrasi.” Oleh sebab itu, setiap hari selalu dan selalu Aku menekankan pada murid-murid agar tidak lupa sarapan. Tapi memang pada dasarnya mereka yang masih anak-anak beranjak remaja, masih menuruti kemauannya sendiri, sampai mulut ini berbusa pun tetap saja ada yang tidak sarapan. Alhasil pernah suatu ketika ada salah satu murid kelas VIII, Melki lemas karena tidak sarapan.
Seperti biasa, ketika Aku keluar dari ruang kelas V SD yang kami gunakan sebagai mess, anak-anak sedang membersihkan lingkungan sekolah, ada juga yang sedang bermain, duduk-duduk. Ketika Aku berjalan menuju kantor, setiap siswa baik itu SD maupun SMP menyapaku dengan salam yang begitu hangat.
“Selamat pagi, Ibu?” Sapa mereka.
Aku balas sapaan mereka dengan senyum dan sapaan hangatku pula. Pukul 08.30 WITA, besi bergantung yang telah berkarat pun dibunyikan sebanyak lima kali sebagai pertanda apel pagi dimulai. Berhubung teman guru satu kelompok yang lain masih mempersiapkan diri ke sekolah, Aku memimpin apel pagi ini. Seluruh siswa mendengarkan apa yang Aku katakan. Entah apa yang kukatakan benar-benar didengarkan atau hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Sebab, ada yang terlihat benar-benar memperhatikan, adapula yang sekadar berdiri istirahat di tempat namun tatapannya kosong.
Seusai apel pagi, anak-anak kembali ke kelas dan berdoa di kelas masing-masing sebelum memulai pelajaran. Aku pun masuk ke kelas IX, satu per satu murid pun masih ada yang terlambat, Aku maklumi hal tersebut karena ini musim hujan. Aku pun memulai pelajaran. Namun, ada empat bangku yang masih kosong, sedari tadi sepertinya belum ada tanda-tanda kehadiran mereka. Selama KBM berlangsung, Aku masih memperhatikan keempat bangku yang masih terasing itu. Hingga pukul 08.30 WITA bangku-bangku itu masih kosong.
“Ada apa ini? Tidak biasanya bangku-bangku itu hingga sekian lama kosong,” tanyaku dalam hati.
Rasa penasaran pun tak dapat kupungkiri, segera Aku tanyakan kepada murid-muridku mengapa hingga saat ini mereka belum datang juga. Mereka dengan semangat menjawab lantang bahwa sungai sedang banjir.
“Kali ada banjir, Ibu!!!” Ujar mereka.
“Maksud kalian apa, Nak?” tanyaku.
“Iya Ibu, rumah mereka seberang kali, jadi kalau banjir datang mereka tidak datang sekolah, Ibu.”
Hhmmm, rupanya itu yang menghalangi mereka tuk datang ke sekolah. Jadi, jika setiap musim hujan datang dan sungai terjadi banjir, mereka tidak datang karena cara alternatif menuju ke sekolah adalah dengan menyeberangi sungai. Jangan dibayangkan bahwa mereka menyeberang sungai di atas jembatan. Sebab, pada kenyataannya tidak ada jembatan yang mereka gunakan. Ya, mereka menyeberang sungai dengan berjalan kaki. Sebelum menyeberangi sungai, mereka berjalan kaki, bahkan ada yang berjalan kaki dengan jarak hingga 7 km. Sepatu, celana atau pun rok harus mereka tanggalkan sebelum menyeberang agar tidak basah. Sesampainya di seberang,segala atribut sekolah mereka kenakan lagi. Jadi, mereka bersiap membawa pakaian ganti untuk menyeberang.
Ada empat murid putri di kelas IX ini yang rumahnya berada di seberang sungai. Beruntung bila sedang tidak banjir atau musim kemarau datang, mereka tidak perlu melepas seragam yang memungkinkan mereka kebasahan terkena air sungai. Sebab ketika air surut, ketinggian air sungai hanya sebatas lutut atau paha. Namun bila banjir mulai datang, mereka pun tidak bisa berbuat banyak. Alhasil mereka terpaksa tidak datang ke sekolah daripada harus mengambil risiko. Jika selama 5 hari sungai itu banjir, maka selama 5 hari itu juga mereka tidak datang ke sekolah. Sebenarnya ada jalan lain untuk sampai ke sekolah tanpa harus menyeberangi sungai, tapi jarak tempuh yang sangat jauh memaksa mereka enggan untuk melalui jalan tersebut karena memutar. Mereka lebih memilih menyeberang sungai daripada harus menambah jarak tempuh yang kian jauh menuju sekolah. Aku hargai semangat, perjuangan, dan pengorbanan mereka. Tidak hanya mereka, banyak lagi murid-muridku lainnya yang memiliki semangat tidak kalah jauh. Jika keempat muridku tadi terpaksa tidak bisa datang di sekolah karena sungai banjir, muridku yang lain banyak yang sampai ke sekolah sekalipun dalam kondisi hujan, sebab mereka tidak harus melewati sungai. Berjalan jauh sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka, hujan pun tak menyurutkan langkah dan semangat mereka tuk sampai ke sekolah. Segala keterbatasan tak menghalangi niat mereka datang ke sekolah. Ini terbukti ketika hanya sebagian kecil siswa yang tidak hadir ke sekolah, sedangkan keseluruhan guru di sekolah kami tidak hadir. Hanya kami berlimalah yang hadir di sekolah.
Aku tidak ingin kalah dengan semangat mereka. Aku yang tinggal di mess sekolah tanpa harus berjalan jauh, kepanasan, dan kehujanan. Sungguh terlalu jika hanya karena cuaca seperti ini semangatku menjadi luntur. Semangat mereka yang perlu ditiru, semoga semangat ini juga menular kepada para pelajar di seluruh wilayah Indonesia. Maju terus Indonesiaku! Tunjukkan pada dunia bahwa kita bisa, bisa menjadi contoh bagi negeri lain, bisa menjadi lebih baik dan berkualitas dibanding yang lainnya. Jangan patah semangat hanya karena kerikil yang menghadang di hadapan kita.



Tamburi, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar