Sabtu,
21 Januari 2012
13 Januari 2011, hari
pertama menginjakkan kaki di negeri Tamburi, Sumba Timur. Dengan minim
fasilitas tak ada sinyal dan listrik, sudah menjadi kesiapanku untuk menghadapi
itu semua ketika mendaftar program ini. Perlu diketahui, “Tamburi” dalam bahasa
Sumba memiliki arti “longsor”. Ya, sesuai namanya, maka dapat dibayangkan bahwa
daerah ini dikelilingi oleh bukit-bukit, sehingga seperti desa di dalam
cekungan. Tinggal bersama teman satu kelompok yang sudah kuanggap layaknya
keluarga sendiri. Yah,,,We are Family!
I’ve got all my sisters with me!
Penempatan di SMP
Negeri Satap Tamburi, saya mengajar kelas VII dan VIII. Selain itu, melaksanakan
les tambahan bagi kelas IX yang akan menghadapi Ujian Nasional. Di sekolah satu
atap (satap) ini, guru asli yang mengajar SMP berjumlah lima guru. Namun karena
satu atap, maka guru SD merangkap mengajar SMP sejumlah tujuh orang, sehingga
jumlah keseluruhan guru Satap ada dua belas orang. Ditambah guru SM-3T lima
orang guru putri, tidak diberi anggota guru putra karena suatu alasan yang
lambat laun kami mengerti alasannya, jumlah keseluruhan menjadi tujuh belas
guru.
Sebut saja Pak Eric,
wakil kepala sekolah, guru Bahasa Inggris merangkap guru Bahasa Indonesia
(sebelum SM-3T datang). Setelah kami datang, beliau mengajar Bahasa Inggris. Karena
Pak Eric dan kami sama-sama orang pendatang, suatu ketika beliau berbincang-bincang
dengan saya mengenai adat di Sumba, hal-hal yang tidak boleh dilakukan ketika
mendekati waktu upacara penguburan sebab sebagian besar penduduk di sini masih
menganut kepercayaan Merapu. Masih banyak lagi yang disampaikan oleh beliau.
Beliau bersikap demikian semata-mata agar tidak terjadi apa-apa dengan kami,
sama-sama orang pendatang.
Sabtu, 14 Januari 2012,
Pak Eric memberikan satu naskah skenario buatannya yang berjudul Kalung Emas yang Hilang untuk dibaca, diedit,
dan dimintai pendapat mengenai isinya. Ceritanya sangat menarik, berisi kisah terpisahnya
anak dengan orang tua yang dibumbui dengan roman cinta, berlatar ketika jaman terpisahnya
Provinsi Timor Timur dari NKRI menjadi Timor Leste dengan cerita yang sedikit
dikembangkan. Ternyata beliau sudah menulis lebih kurang tujuh belas skenario.
Pak Eric berharap suatu saat tulisannya dapat dibuat menjadi buku, bahkan saya
mendorongnya agar dapat dipentaskan.
“Sosoknya begitu
pendiam, tidak banyak bicara, jarang bergaul, menyendiri, dan disiplin”, ungkap
salah satu guru ketika membicarakan beliau kepada kami. Namun lambat laun,
anggapan mereka tersebut salah. Sepengamatan saya, Pak Eric selalu mengisi
kelas-kelas yang kosong pelajaran karena guru mata pelajaran yang tidak hadir,
datang paling awal di sekolah lalu mengisi apel sebelum pelajaran dimulai,
pulang paling akhir, dan memiliki semangat untuk memajukan sekolah. Beliau
adalah sosok yang benar-benar berdedikasi tinggi dibanding guru-guru lain di sekolah
ini yang hanya senang mementingkan urusan sendiri dan urusan adat. Beliau
berkata bahwa tidak ada gunanya jika datang ke sekolah hanya berkumpul-kumpul
dan menggosip saja. Karena sekolah bukan tempat untuk tujuan semacam itu. Menurut
saya, beliau bukan pendiam, hanya saja tidak ingin membicarakan hal yang tidak
penting, hal yang tidak ada gunanya. Karena ketika berbicara dengan saya
membahas mengenai dunia pendidikan di Jawa, Sumba, dan Indonesia, beliau justru
jauh dari dugaan orang yang mengatakan behwa beliau orang yang cuek. Kami
banyak bertukar cerita mengenai Jawa dan Sumba. Entah itu seputar adat,
pendidikan, sosial, budaya, hingga berkisah tentang perjuangan dirinya menjadi
seorang guru hingga menjadi PNS dengan perjuangan berkali-kali yang setiap
dirinya diterima CPNS selalu dimintai sejumlah uang oleh pihak tertentu. Namun
dirinya tidak mau, hingga akhirnya namanya diganti dengan nama orang lain yang
mungkin mau membayar sejumlah uang, padahal sudah jelas-jelas dirinya lolos
CPNS. Mungkin biasa disebut KKN dalam istilah kerennya. Hingga akhirnya pak
Eric mendaftar CPNS di Sumba Timur dengan tidak ada permainan semacam itu
(KKN). Dia juga rajin melakukan workshop-workshop hingga menduduki peringkat
kedua tingkat provinsi di atas guru-guru PNS yang lain ketika dirinya masih
berstatus sebagai guru honorer.
Pak
Eric, sosok guru teladan yang patut ditiru. Semangatnya selalu membayang untuk
mengantarkan kami menjadi guru-guru yang seperti dirinya. Semoga kelak menjadi
banyak penerus Pak Erik-Pak Erik seperti dirinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar