Kamis, 13 Desember 2012

Semangat Pak Eric


Sabtu, 21 Januari 2012

13 Januari 2011, hari pertama menginjakkan kaki di negeri Tamburi, Sumba Timur. Dengan minim fasilitas tak ada sinyal dan listrik, sudah menjadi kesiapanku untuk menghadapi itu semua ketika mendaftar program ini. Perlu diketahui, “Tamburi” dalam bahasa Sumba memiliki arti “longsor”. Ya, sesuai namanya, maka dapat dibayangkan bahwa daerah ini dikelilingi oleh bukit-bukit, sehingga seperti desa di dalam cekungan. Tinggal bersama teman satu kelompok yang sudah kuanggap layaknya keluarga sendiri. Yah,,,We are Family! I’ve got all my sisters with me!

Penempatan di SMP Negeri Satap Tamburi, saya mengajar kelas VII dan VIII. Selain itu, melaksanakan les tambahan bagi kelas IX yang akan menghadapi Ujian Nasional. Di sekolah satu atap (satap) ini, guru asli yang mengajar SMP berjumlah lima guru. Namun karena satu atap, maka guru SD merangkap mengajar SMP sejumlah tujuh orang, sehingga jumlah keseluruhan guru Satap ada dua belas orang. Ditambah guru SM-3T lima orang guru putri, tidak diberi anggota guru putra karena suatu alasan yang lambat laun kami mengerti alasannya, jumlah keseluruhan menjadi tujuh belas guru.

Sebut saja Pak Eric, wakil kepala sekolah, guru Bahasa Inggris merangkap guru Bahasa Indonesia (sebelum SM-3T datang). Setelah kami datang, beliau mengajar Bahasa Inggris. Karena Pak Eric dan kami sama-sama orang pendatang, suatu ketika beliau berbincang-bincang dengan saya mengenai adat di Sumba, hal-hal yang tidak boleh dilakukan ketika mendekati waktu upacara penguburan sebab sebagian besar penduduk di sini masih menganut kepercayaan Merapu. Masih banyak lagi yang disampaikan oleh beliau. Beliau bersikap demikian semata-mata agar tidak terjadi apa-apa dengan kami, sama-sama orang pendatang.

Sabtu, 14 Januari 2012, Pak Eric memberikan satu naskah skenario buatannya yang berjudul Kalung Emas yang Hilang untuk dibaca, diedit, dan dimintai pendapat mengenai isinya. Ceritanya sangat menarik, berisi kisah terpisahnya anak dengan orang tua yang dibumbui dengan roman cinta, berlatar ketika jaman terpisahnya Provinsi Timor Timur dari NKRI menjadi Timor Leste dengan cerita yang sedikit dikembangkan. Ternyata beliau sudah menulis lebih kurang tujuh belas skenario. Pak Eric berharap suatu saat tulisannya dapat dibuat menjadi buku, bahkan saya mendorongnya agar dapat dipentaskan.

“Sosoknya begitu pendiam, tidak banyak bicara, jarang bergaul, menyendiri, dan disiplin”, ungkap salah satu guru ketika membicarakan beliau kepada kami. Namun lambat laun, anggapan mereka tersebut salah. Sepengamatan saya, Pak Eric selalu mengisi kelas-kelas yang kosong pelajaran karena guru mata pelajaran yang tidak hadir, datang paling awal di sekolah lalu mengisi apel sebelum pelajaran dimulai, pulang paling akhir, dan memiliki semangat untuk memajukan sekolah. Beliau adalah sosok yang benar-benar berdedikasi tinggi dibanding guru-guru lain di sekolah ini yang hanya senang mementingkan urusan sendiri dan urusan adat. Beliau berkata bahwa tidak ada gunanya jika datang ke sekolah hanya berkumpul-kumpul dan menggosip saja. Karena sekolah bukan tempat untuk tujuan semacam itu. Menurut saya, beliau bukan pendiam, hanya saja tidak ingin membicarakan hal yang tidak penting, hal yang tidak ada gunanya. Karena ketika berbicara dengan saya membahas mengenai dunia pendidikan di Jawa, Sumba, dan Indonesia, beliau justru jauh dari dugaan orang yang mengatakan behwa beliau orang yang cuek. Kami banyak bertukar cerita mengenai Jawa dan Sumba. Entah itu seputar adat, pendidikan, sosial, budaya, hingga berkisah tentang perjuangan dirinya menjadi seorang guru hingga menjadi PNS dengan perjuangan berkali-kali yang setiap dirinya diterima CPNS selalu dimintai sejumlah uang oleh pihak tertentu. Namun dirinya tidak mau, hingga akhirnya namanya diganti dengan nama orang lain yang mungkin mau membayar sejumlah uang, padahal sudah jelas-jelas dirinya lolos CPNS. Mungkin biasa disebut KKN dalam istilah kerennya. Hingga akhirnya pak Eric mendaftar CPNS di Sumba Timur dengan tidak ada permainan semacam itu (KKN). Dia juga rajin melakukan workshop-workshop hingga menduduki peringkat kedua tingkat provinsi di atas guru-guru PNS yang lain ketika dirinya masih berstatus sebagai guru honorer.
            Pak Eric, sosok guru teladan yang patut ditiru. Semangatnya selalu membayang untuk mengantarkan kami menjadi guru-guru yang seperti dirinya. Semoga kelak menjadi banyak penerus Pak Erik-Pak Erik seperti dirinya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar