Rabu, 22 Februari 2017

Padam Tak Membuatnya Patah Arang

      Aku terbangun dari lelap singkatku di atas sini. Kulihat pemandangan laut yang mencoba tuk merayu dari balik jendela, juga kabut tebal bergelombang yang memanjakan mata ketika melihatnya. Ingin rasa tanganku keluar dari jendela, sekadar tuk mengetahui bagaimana rasanya menggenggam awan dari balik jendela ini. Tak berapa lama dari kejauhan, Aku melihat sebuah pulau yang begitu kering, gersang, tandus, dan berbukit-bukit. Terkadang ada juga sebagian kecil dari daerah tersebut yang hijau, aliran sungai, dan lembah pun turut menghiasinya. Mataku tak luput  melihat beberapa bangunan yang berkilauan jika dilihat dari atas sini. Hal ini memunculkan beberapa pertanyaan dariku.

      “Bangunan apa itu?”
      “Pulau apa ini?”
      “Apakah ini yang dinamakan Pulau Sumba Timur? Pulau yang selama ini menjadi daerah tujuan kami, para peserta SM-3T? Pulau yang tidak akan lama lagi menjadi tempat tinggal kami lebih kurang satu tahun?”
      Berbagai pertanyaan itu yang terlontar dalam pikiran ini. Bisa kutebak bahwa ini Pulau Sumba Timur, sebab pesawat yang kami tumpangi, sebelumnya sempat transit di Bali dan Kupang. Menurut informasi pula, tujuan setelah Bandara Kupang adalah Pulau Sumba. Tujuan terakhirku bersama teman-teman yang lain menginjakkan kaki dari perjalanan ini untuk memulai tugas sebagai The Agent of Change.
      “Ya, tidak salah lagi, ini adalah Pulau Sumba!”
      Kemantapan itu terjawab setelah ada pernyataan bahwa pesawat akan mendarat di Bandara Umbu Mehang Kunda Sumba Timur. Lega mendengar bahwa pesawat akan segera mendarat. Begitu keluar dari pesawat, kali pertama yang Aku rasakan adalah suhu yang begitu panas. Rasanya ingin kembali ke pesawat untuk mencari tempat yang dingin. Berbeda dengan suhu di Magelang, tempat tinggalku, yang memang tidak membutuhkan pendingin udara ataupun kipas angin. Tak dipungkiri, keringat pun mulai mengalir di sekujur tubuh saat menunggu barang-barang tiba di bandara. Betapa tidak, suhu di sini mencapai 330C, berbeda dengan di Kupang yang mencapai 300C, terlebih di Magelang.
      Sepanjang perjalanan menuju tempat tugas, yang kulihat hanyalah padang Sabana begitu luas, rumput-rumput yang mulai mengering, menguning, dan kecokelatan. Pemandangan ini tak ayal menunjukkan betapa panasnya daerah di sini. Sempat juga melihat pemandangan padang kecoklatan yang dihiasi oleh puluhan ekor sapi bahkan hingga ratusan yang kian terlihat seperti kerangka berjalan. Tidak hanya itu yang membuatku heran, jarang juga Aku melihat rumah-rumah penduduk. Ketika Aku mulai melihat rumah-rumah penduduk serta berbagai bangunan di sini, pertanyaan pertamaku ketika berada di dalam pesawat terjawab. Bangunan yang tampak berkilauan jika dilihat dari atas pesawat tadi ternyata bersumber dari atap-atap rumah dan bangunan tersebut. Ya, atap bangunan di sini secara keseluruhan menggunakan seng. Dapat dibayangkan betapa panas jika berada di dalamnya saat siang hari seperti sekarang ini. Meskipun demikian, adapula beberapa rumah penduduk yang masih menggunakan rumbia sebagai atapnya.
      Setibanya di tempat tugas, Aku bersama empat rekan lainnya tinggal di mes sekolah. Mes yang dimaksud adalah sebuah ruang kelas V SD yang kebetulan satu atap dengan SMP tempat tugas kami. Mulai dari kamar tidur, ruang tamu, dapur, jemuran baju atau handuk, tempat sepatu, tempat belajar, hingga tempat baju kotor campur menjadi satu ruangan ini. Hari pertama hingga hari ketiga kami lewati malam dengan kegelapan, hanya ditemani oleh (lampu) pelita. Pelita yang biasa orang sini maksud adalah semacam lampu terbuat dari botol kaca, bagian tutup botol tersebut dihubungkan oleh sumbu sehingga bisa dinyalakan sebagai penerang dalam gelap, menggunakan bahan bakar minyak tanah. Untuk memperoleh minyak tanah jika di Jawa bisa dikatakan cukup sulit dan mahal sehingga sebagian besar penduduknya beralih menggunakan elpiji. Sedangkan di Sumba Timur, khususnya di daerah tempat tugasku, Tamburi, lumayan mudah didapat dan harganya relatif miring. Hanya dengan tiga ribu rupiah sudah bisa mendapatkan satu liter minyak tanah yang dapat diperoleh di toko-toko. Jaraknya lumayan jauh dari tempatku bertugas.
      Keterbatasan daerah di Sumba yang terjamah oleh listrik termasuk Tamburi, mengingatkanku pada kehidupan di Jawa yang yang jauh berbeda, serba terpenuhi segala kebutuhan yang berkaitan dengan listrik. Sebelumnya, setiap hari ketika Aku ingin membuat segelas susu hangat, ada air panas yang selalu siap 24 jam di dalam dispenser. Ketika ingin mengerjakan tugas menggunakan laptopku yang notabene baterainya sudah jebol, selalu bisa kapan pun menggunakan listrik. Jika ingin mengecharge telepon genggam, dapat sewaktu-waktu mengisi dayanya. Jelas, semua hal yang ingin dilakukan dan ada kaitannya dengan listrik, dapat dengan mudah diperoleh dan dilakukan. Berbeda dengan yang Aku alami saat ini. Tempat tugas yang Aku tinggali belum terjamah oleh aliran listrik, maka salah satu solusi untuk mendapatkan aliran listrik di sini adalah dengan cara menggunakan mesin diesel, atau yang biasa penduduk sini sebut dengan istilah jenset. Cukup lebih kurang satu setengah liter bensin saja dalam satu malam untuk menghasilkan listrik selama lebih kurang 3 jam. Ya, disaat itulah Aku bersama keempat teman lainnya; Rea, Tsania, Nila, dan Melinda memulai untuk beraktivitas yang sebenarnya. Mulai dari mengecharge HP, mengecharge laptop, mengerjakan perangkat pembelajaran, bahkan sampai mengusir penat dengan menonton film atau sekadar ngegame. Beruntung sekali untuk teman-temanku yang bisa mengecharge laptopnya, sehingga ketika esok menjelma mereka bisa menggunakannya. Sedangkan Aku memang baru bisa bekerja menggunakan laptop disaat listrik menyala sehingga ketika esok tiba Aku hanya bisa menulis poin-poin yang akan diketik. Jadi, pada malamnya Aku menulis ulang apa yang ingin Aku ketik. Termasuk menulis diary, cerpen, ataupun puisi sekadar untuk menyalurkan hobi. Meskipun begitu, Aku sangat bersyukur atas apa yang telah Aku peroleh dan rasakan saat ini. Betapa tidak, di luar sana ada sebagian dari murid-muridku yang dalam malamnya hanya ditemani oleh sinar rembulan dan gemerlapnya bintang-bintang. Ya, mereka belajar pada malam hari pun menggunakan pelita. Sungguh miris ketika kali pertama menghadapi kehidupan semacam ini. Listrik yang biasanya dapat digunakan setiap saat ketika dibutuhkan justru sulit didapat oleh mereka terutama murid-muridku ketika ingin mengerjakan PR atau sekadar membaca buku-buku catatan mereka untuk mengulang dan mengingat-ingat pelajaran sebelumnya yang mereka terima.
      Suatu hari, Aku harus ke Melolo untuk menghadiri MGMP di SMP Negeri 1 Umalulu. Karena tidak mendapatkan ojek setelah menunggu sekian lama,  terpaksa Aku harus mencari tumpangan motor yang melintas di depan sekolah. Lama sekali Aku menunggu. Tiba-tiba dari kejauhan, muncullah seorang bapak-bapak yang mengendarai motor seorang diri. Dengan sigap, Aku meminta tolong kepada bapak tersebut untuk ikut sampai pertigaan Tamburi. Ternyata tidak dinyana-nyana, tujuan kami sama-sama ke Melolo, sehingga Aku tidak harus pusing lagi untuk mencari tumpangan selanjutnya hehehe. Selama dalam perjalanan kami berbincang panjang. Setelah berbincang cukup lama, ternyata bapak tersebut bekerja di PLN Melolo. Aku jadi teringat tentang aliran listrik yang belum menjamah Desa Tamburi. Seketika itu, Aku menyampaikan tentang hal ini. Juga menyampaikan bahwa berdasar keterangan dari warga setempat, sudah lama ada pihak dari PLN yang mulai “ukur-ukur” di daerah tersebut, tapi sekadar “ukur-ukur” saja, hingga saat ini belum ada realisasinya. Bapak itu pun menjawab bahwa memang dari pihaknya sudah mulai “ukur-ukur” tapi permasalahnnya terletak pada jumlah penduduk di Desa Tamburi yang sedikit, sehingga dapat  mengakibatkan ruginya pihak PLN jika memasang listrik di desa tersebut. Selain itu, penduduk Desa Tamburi yang kebanyakan tinggal hingga beberapa keluarga dalam satu rumah mengakibatkan sedikitnya permintaan aliran pasokan listrik. Belum lagi medan menuju Tamburi yang berada di lembah, diapit oleh bukit-bukit yang lumayan menyulitkan pihak PLN. Banyak hal lain yang mengakibatkan PLN tidak bisa masuk di daerah ini. Jika dipikir-pikir, benar juga apabila pihak PLN bertindak demikian.
      Tidak terasa perjalanan pun berakhir. Bapak tersebut berbaik hati mengantarkanku sampai tempat tujuan, SMP Negeri 1 Umalulu. Padahal tempat tujuanku melewati tempat kerja bapak tersebut. Lumayan jauh jika harus berjalan kaki dari kantor PLN Melolo hingga SMP Negeri 1 Melolo.
      Sesampai di SMP Negeri 1 Umalulu ternyata ada pemadaman listrik. Mau tidak mau kami harus lebih sabar menunggu adanya aliran listrik cadangan, yang bersumber dari jenset sekolah agar acara MGMP dan penyusunan soal-soal try out persiapan UN tahun 2012 bisa berjalan lancar, meskipun harus dimulai agak terlambat pada hari itu. Sungguh, mengingat kejadian ini membuatku terketuk pada murid-murid SMP Negeri Satap Tamburi. Padam tidak membuat mereka patah arang untuk terus belajar, untuk terus selalu berusaha semangat dalam menggapai mimpi-mimpi mereka. Ini hanya sebagian kecil contoh, karena Aku yakin di tempat lain pun banyak yang bernasib justru lebih parah.
“Terima kasih Tuhan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar